Widget HTML #1

Cerita Masa Kecil Soeharto


 Setelah saya dilahirkan, tidak lama kemudian saya harus berpisah dengan ibu saya. Belum genap empat puluh hari, saya dibawa ke rumah mBah Kromodiryo. Hal ini disebabkan karena ibu saya sakit dan tidak bisa menyusui saya. Di rumah mBah Kromo, saya dirawat dengan penuh kasih sayang oleh keluarga besar. Saya ingat betul bagaimana mBah Amat Idris, seorang kerabat dekat, sering menggendong saya, dan mBah Kromo sendiri yang mengajarkan saya untuk berdiri dan berjalan. Beliau juga sering membawa saya ke mana-mana saat menjalankan tugasnya.

Ketika mBah Kromo sedang tidak membawa saya, saya sering dibawa ke sawah. Di sana, saya bermain sambil mengikuti aktivitas para petani. Saya digendong sambil mBah Kromo bekerja membalik-balikkan tanah, atau saya diletakkan di atas garu, sebuah alat untuk meratakan tanah. Saya masih bisa mengingat dengan jelas momen-momen itu, saat saya duduk di atas garu dan dengan gembira memberi isyarat kepada kerbau untuk maju, berbelok ke kiri, atau ke kanan. Masa-masa bermain di sawah, bermain air, dan bermandikan lumpur menjadi kenangan yang selalu melekat hingga saya dewasa. Jika saya merasa lelah atau kepanasan, mBah Kromo akan menyuruh saya beristirahat di pinggir sawah, di pematang, atau di jalan. Salah satu kenangan yang paling saya sukai adalah saat saya bersama beliau mencari belut di sawah, yang sampai sekarang tetap menjadi makanan favorit saya.

Suatu hari, kejadian tak terduga menimpa saya. Saat itu, saya sedang menebang pohon pisang dengan sebuah sabit. Sayangnya, sabit itu lepas dari genggaman saya dan jatuh, melukai kaki saya. Awalnya, keluarga menganggap luka tersebut tidak serius. Namun, luka itu ternyata menjadi borok. Mbah Kromo segera bertindak dan merawat saya dengan penuh perhatian. Rasa sayangnya begitu besar, dan hingga saat ini saya masih merasakan betapa beliau peduli terhadap saya.

Saat saya berumur empat tahun, saya kembali tinggal bersama ibu saya, Sukirah, dan ayah tiri saya, Pak Atmopawiro. Kenangan masa kecil saya bersama keluarga ini masih teringat jelas. Saya masih ingat dengan baik adik perempuan saya, Sukiyem, yang sayangnya tidak berumur panjang. Setahun kemudian, lahirlah adik laki-laki saya, Sucipto, diikuti oleh beberapa adik lainnya.

Pernah suatu kali, saya diberi tugas untuk menggembala kerbau oleh Pak Atmopawiro. Saya masih kecil saat itu, namun sudah diberikan tanggung jawab besar, yaitu menggembala kerbau dari rumah ke sawah. Namun, suatu hari, seekor kerbau yang saya bawa terperosok ke dalam parit di pinggir sungai. Saya yang belum berpengalaman tidak tahu cara untuk menyelamatkannya. Saya pikir, kerbau itu akan menemukan jalannya sendiri. Saya pun mengikutinya ke sungai. Namun, sungai itu ternyata semakin menyempit, dan saya akhirnya terjebak, tidak bisa maju atau mundur. Saya mulai menangis, teringat bahwa saya harus berada di sawah pada pukul tujuh, sementara saya masih berada di sungai. Untungnya, ada orang suruhan mBah Kromo yang datang dan menemukan saya, mungkin karena mendengar tangisan saya.

Ada momen lain yang membuat saya sangat bahagia ketika ayah tiri saya membawa seekor kambing untuk saya. Ternak itu menjadi sahabat saya dan memberikan kebahagiaan yang tak terlupakan selama masa kecil saya.

Kenangan masa kecil lainnya terjadi ketika Ibu Sukirah hendak pergi ke pasar dan meninggalkan saya uang satu bil (setengah sen). Namun, kecelakaan kecil terjadi; uang tersebut tanpa sengaja tertelan oleh saya. Saya sangat ketakutan dan menangis lama. Teman-teman saya bahkan menakut-nakuti bahwa uang itu akan tersangkut di perut saya selamanya. Namun, orang-orang dewasa mengatakan kepada saya bahwa uang itu akan keluar dengan sendirinya, meski saya tidak ingat apakah saya pernah menemukannya kembali.

Saat saya bermain di depan rumah mBah Buyut Notosudiro, kakek dari pihak ibu saya, saya sering menghabiskan waktu bersama Mas Darsono. Suatu hari, mBah Buyut sedang menjahit baju dan tiba-tiba memanggil saya untuk mencoba pakaian yang sedang beliau buat. Saya begitu senang dan berlari menghampirinya. Namun, setelah saya memakai baju itu, mBah Buyut berkata, "Lho, ini Harto. Panggil Mas-mu Darsono." Perintah itu terasa berat bagi saya, karena baju yang baru saya pakai ternyata lebih cocok untuk Mas Darsono. Hal ini membuat saya merasa kurang dihargai, seolah mBah Buyut lebih menyayangi Mas Darsono daripada saya.

Pada usia lima tahun, saya mulai mengenakan celana panjang yang mengecil di bagian bawah, pakaian yang biasa dikenakan orang pergi ke sawah. Namun, saat mulai sekolah, saya baru mengenakan pakaian yang lebih pantas, celana dan kemeja. Saya pergi ke sekolah dengan mengenakan pakaian 'bebet', sabuk wolo, pakaian tradisional anak-anak Jawa waktu itu.

Masa sekolah saya penuh dengan dinamika. Saya berpindah-pindah sekolah, dimulai di Desa Puluhan, lalu pindah ke Pedes, karena ibu dan ayah tiri saya pindah ke Kemusuk Kidul. Dari sana, saya dipindahkan ke Wuryantoro dan tinggal bersama bibi saya, istri Pak Prawirowihardjo, seorang mantri tani. Kehidupan di Wuryantoro berbeda dengan di Kemusuk. Meski bukan daerah yang subur, kehidupan bersama Pak Prawirowihardjo memberikan saya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Pak Prawirowihardjo adalah sosok yang sangat saya kagumi. Dedikasinya sebagai mantri tani dan kemampuannya mengubah kebun percontohan di Tangkil yang awalnya tandus menjadi subur telah memberikan inspirasi besar bagi saya. Saya belajar banyak dari beliau, tidak hanya tentang pertanian tetapi juga tentang kerja keras dan ketekunan.

Di Wuryantoro, saya juga mendapatkan pendidikan agama yang kuat. Setiap sore, saya belajar mengaji di Langgar bersama teman-teman, dan di sinilah saya mulai mengenal tokoh-tokoh pahlawan nasional. Saya juga menjalani latihan spiritual, seperti puasa setiap Senin dan Kamis, dan tidur di tritisan (di bawah ujung atap rumah). Semua pengalaman masa kecil ini—baik suka maupun duka—telah membentuk karakter saya hingga dewasa.