Prinsip Hidup Pak Harto
Pak Harto menjalani hidupnya dengan memegang teguh falsafah Jawa yang kaya akan makna dan ajaran. Banyak prinsip berharga yang dapat diambil dari ajaran beliau, yang tidak hanya diterapkan dalam kehidupan pribadi tetapi juga dalam kepemimpinan. Dalam biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, yang ditulis oleh G. Dwipayana dan Ramadhan KH, Pak Harto menuturkan, “Pada masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti serta filsafat hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan tata cara hidup Jawa.”
Sebagai seorang yang tumbuh di tengah masyarakat agraris, Pak Harto mempelajari pentingnya hidup selaras dengan alam sebagai petani. Prinsip-prinsip hidup yang ia serap semasa kecil terus diimplementasikan bahkan ketika ia mencapai posisi tinggi sebagai pejabat negara. Salah satu falsafah yang sangat diresapinya adalah “Aja kagetan, aja gumunan, lan aja dumeh.” Artinya, “Jangan kagetan, jangan heran, dan jangan mentang-mentang.”
Pak Harto mengungkapkan, “Ini kelak jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya.” Inti ajaran ini berupaya menanamkan sikap sabar, tenang, dan tidak sombong. Ia meyakini bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam kehidupan bermasyarakat, keyakinan pada diri sendiri harus dipupuk dan dijaga, tanpa merasa sombong ketika mendapatkan jabatan tertentu.
Prinsip lain yang selalu dipegangnya adalah “Hormat kalawan gusti, guru, ratu, lan wong atuwa karo.” Artinya, menghormati Tuhan, guru, pemerintah, dan kedua orang tua. Dalam konteks ini, “ratu” diartikan sebagai simbol pemerintahan dan negara, yang mengandung makna bahwa manusia tidak mengabdi kepada individu, tetapi kepada nusa dan bangsa. Konsep “wong atuwa karo” tidak hanya mencakup orang tua kandung, tetapi juga mertua dan saudara yang lebih tua, yang juga harus dihormati dan dilayani.
Pak Harto menegaskan, “Sampai jadi presiden, saya merasa tidak berubah dalam hal ini. Saya junjung tinggi ajaran ini dan saya percaya akan keberanannya.”
Selain itu, ia juga menganut falsafah “Sa-Sa-Sa,” yang merupakan rangkaian kepemimpinan yang mencakup sabar, sareh, dan saleh. Maknanya, sabar itu harus sabar, sareh artinya bijaksana, dan saleh berarti selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Falsafah ini menjadi pedoman dalam hidupnya: “Sabar atine, saleh pikolahe, sareh tumindake.” Artinya, “Selalu sabar, selalu saleh, dan selalu bersikap bijaksana.”
Falsafah lain yang dipegangnya adalah “Mikul dhuwur mendhem jero,” yang berarti menjunjung tinggi dan membenam dalam-dalam. Pepatah ini mengajarkan anak untuk berbakti kepada orang tua, menjaga baik-baik nama mereka, serta menghargai jasa-jasa mereka kepada negara. Seorang anak seharusnya menjaga kehormatan orang tua dan tidak mengungkit kesalahan mereka, tetapi sebaliknya, berusaha memperbaiki diri dan menghindari kesalahan yang sama.
Selain itu, ada juga pepatah “Sugih tanpa bandha,” yang berarti kaya tanpa harta, menyerbu tanpa bala, kuat tanpa ajian, dan menang tanpa mengalahkan. Ini mengajarkan bahwa segala perbuatan manusia seharusnya didasarkan pada keikhlasan batin tanpa pamrih. “Nglurug tanpa bala” menggambarkan rasa harga diri yang bukan karena ditakuti atau disegani, tetapi berlandaskan pada kesetiaan terhadap prinsip yang diyakini. Sementara “Digdaya tanpa aji, menang tanpa ngasorake” menyiratkan bahwa seseorang menjadi kuat dan pemenang bukan karena kesaktian atau kekuatan luar biasa, melainkan karena kemampuannya dalam memelihara ketentraman dan kedamaian hidup.
Dengan memegang teguh falsafah-falsafah tersebut, Pak Harto tidak hanya berhasil sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai sosok yang dihormati oleh banyak orang. Ajaran dan prinsip hidupnya tetap menjadi teladan bagi generasi yang akan datang.