Pembangunan Mesjid di Era Presiden Soeharto
Pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, pembangunan infrastruktur di Indonesia tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi dan sosial, tetapi juga pada pengembangan sarana keagamaan, khususnya masjid. Pembangunan masjid di masa Orde Baru menjadi simbol keselarasan antara semangat pembangunan nasional dengan nilai-nilai Islam yang menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Salah satu ikon monumental dari kebijakan ini adalah Masjid Istiqlal di Jakarta, yang diresmikan pada tahun 1978. Masjid ini menjadi simbol kebanggaan nasional, karena merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara, dan berdiri megah di jantung ibu kota sebagai lambang kemerdekaan Indonesia. Nama Istiqlal, yang berarti kemerdekaan dalam bahasa Arab, mencerminkan semangat nasionalisme dan keislaman yang berpadu dalam arsitektur dan filosofi pembangunan masjid ini. Masjid ini menjadi pusat aktivitas keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan Islam, serta menegaskan peran Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.
Di samping Masjid Istiqlal, pembangunan masjid-masjid di berbagai penjuru negeri juga menjadi perhatian utama pemerintah. Melalui program Dana Zakat, Infaq, dan Shadaqah (DZIS) yang diluncurkan pada tahun 1983, pemerintah mendorong umat Islam untuk berperan aktif dalam pembangunan melalui kontribusi zakat, infak, dan sedekah. Program ini memperkuat nilai gotong-royong dan kemandirian umat Islam dalam membangun fasilitas keagamaan dan sosial yang dibutuhkan masyarakat. Dana yang terkumpul digunakan tidak hanya untuk pembangunan masjid, tetapi juga untuk kegiatan sosial lainnya, termasuk pendidikan dan bantuan bagi kaum dhuafa, sehingga terwujudlah keseimbangan antara pembangunan fisik dan spiritual bangsa.
Presiden Soeharto memandang pembangunan masjid sebagai salah satu bagian dari penguatan identitas nasional dan spiritual. Banyak masjid dibangun di kawasan strategis, seperti di pusat kota, sepanjang jalan tol, dan di pelabuhan-pelabuhan utama. Pembangunan ini tidak hanya bertujuan untuk menyediakan tempat ibadah, tetapi juga sebagai fasilitas penunjang bagi para musafir dan masyarakat umum yang ingin melaksanakan ibadah dengan nyaman di tengah mobilitas mereka. Keberadaan masjid di pusat transportasi publik ini memperkuat nilai-nilai Islam sebagai agama yang membimbing setiap aspek kehidupan umat, termasuk dalam perjalanan mereka.
Lebih dari itu, kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru juga mencakup pemberian bantuan kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil yang ingin membangun masjid. Dengan memberikan akses pada dana dan material pembangunan, pemerintah membantu mewujudkan tempat-tempat ibadah yang layak di seluruh pelosok Indonesia. Hal ini merupakan wujud nyata dari upaya pemerintah dalam menciptakan pemerataan pembangunan, tidak hanya dalam bidang ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga dalam penyediaan sarana keagamaan yang merata di seluruh Nusantara.
Pembangunan masjid di era Soeharto juga sejalan dengan semangat Pancasila sebagai dasar negara yang mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Pemerintah menyadari bahwa fondasi moral dan spiritual yang kuat sangat diperlukan untuk mendukung kemajuan bangsa. Dalam konteks ini, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan moral, sosial, dan kebangsaan, yang mendidik masyarakat agar mampu menjalankan kehidupan beragama dengan baik sekaligus berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Secara keseluruhan, pembangunan masjid pada era Soeharto mencerminkan perpaduan antara semangat keagamaan dan nasionalisme. Melalui kebijakan yang proaktif dalam mendukung pembangunan sarana keagamaan, pemerintah Orde Baru berhasil membangun masjid-masjid megah yang tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga simbol persatuan dan kekuatan umat Islam Indonesia. Kebijakan ini memperkuat karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius, bermoral, dan bersatu dalam keberagaman, dengan masjid sebagai pusat penguatan nilai-nilai tersebut.